Ya, memandang dari sisi yang lain. Bagaimana orang lain itu berpikir? Bagaimana cara pandang mereka? Kalo cara berpikir dan cara pandang mereka sama dengan kita, Alhamdulilah, hidup akan tenang. Karena kemungkinan konflik sangatlah kecil. Tapi, Tuhan menciptakan makhluknya berbeda-beda. Kalo diciptakan semua, ya pasti gak serulah. Asumsi seperti ini. Saya adalah akuntan, yang artinya, menurut orang saya adalah seseorang yang ahli di bidang akuntansi. Sebetulnya anggapan itu tidak salah, meskipun juga tidak 100% benar, ha..ha..ha.. Nah, bisa dibayangkan kalo cara pandang nya sama semua seperti saya? Pastilah seorang akuntan gak bakalan "laku" di pasaran. Karena semua orang sudah ahli akuntansi. Maka beruntunglah kita hidup dalam perbedaan. Alhamdulillah...
Saya akan sedikit bercerita tentang klien saya, yang sedang menghadapi "ujian" karena diperiksa oleh Pajak di suatu daerah. Seperti yang kita tahu, begitu mendengar kata pajak saja orang agak takut. Apalagi mendengar kata Pemeriksaan Pajak. Bergetarlah semua sendi-sendi kita, terutama lutut. Ndredeg istilah Jawanya. Berhubung saya sebagai konsultannya (hanya tampil di belakang layar), maka saya bertanggung jawab untuk membantu menjawab pertanyaan dari pemeriksa. Kasusnya, untuk tahun 2010, kami melaporkan SPT. Dimana pada tahun 2010, sudah jelas bahwa pendapatan final dan tidak final harus dipisahkan. Berhubung klien saya memiliki beberapa pendapatan yang final dan tidak final, maka kami harus melakukan pemisahan atas pendapatan dan beban-bebannya. PPh Final berarti kita sudah melakukan pelunasan/pembayaran atas hutang pajak tersebut.
Nah, masalah timbul saat melaporkan SPT. Kondisi klien saya, bila pendapatan final dan tidak finalnya digabung akan terkena 2 tarif yaitu 12,5% dan 25 % karena omzet lebih dari 4,8M. Tetapi, bila kami hitung PPh tidak finalnya (karena asumsi saya PPH final harus dikeluarkan) maka kami hanya kena 1 tarif yaitu 12,5%. Disinilah masalah itu bermula. Pemeriksa menggunakan dasar Se 66 tentang petunjuk pelaksanaan perhitungan PPh, dengan asumsi pendapatan bruto (final dan tidak final) dihitung sebagai dasar perhitungan. Padahal menurut UU 36 tahun 2008, PPh final harus diperlakukan sendiri karen beda perhitungan dan pelaksanaannya. Nah, dari situ saja sdh terdapat perbedaan. Saya sebagai konsultan lebih condong untuk sesuai UU, sedangkan pemeriksa sesuai SE. Dari kejadian itu, penafsiran atas UU saja antara pemeriksa dan wajib pajak sudah berbeda. Ada 2 sudut pandang yang berbeda. Satu sisi menganggap A, dan satu sisi menganggap B. Pusinglah...
Satu lagi yang aku dapat atas pemeriksaan pajak, sebagai pengalaman. Bahwa pemeriksa selalu berdasarkan cash basis. Selalu menggunakan arus uang masuk sebagai dasar pemeriksa. Karena bila ada arus uang masuk, itu berarti pendapatan bagi wajib pajak. Wow... Saya yakin ini 100% salah. Tidak semua arus uang masuk selalu dianggap sebagai pendapatan. Padahal, ada beberapa arus uang masuk tersebut harus dikurangi dengan pengeluaran / biaya untuk mendapatkan pendapatan sebesar itu. Seharusnya, kalo sama-sama fair, harus lihat dari 2 sisi. Sisi masuknya bagaimana, dan sisi keluarnya seperti apa, Nah, baru bolehlah pemeriksa menanyakan alasan pengurangan pendapatan tersebut apa. Yah, semoga institusi kita dan diri kita sendiri akan berubah lebih baik, demi kemajuan bangsa. Sama-sama belajar, dan mencoba duduk bersama dan saling berdiskusi, tentang penafsiran suatu aturan. Biar terjadi win win solution, serta tidak ada perdebatan "kusir" lagi.